salam


Rabu, 15 Mei 2013


Biografi Sunan Giri

Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik.

Silsilah

Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rummi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Saadah Ba Alawi Hadramaut.
Kisah
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu menghanyutkannya ke laut.
Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.
Dakwah dan kesenian
Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

SEJARAH DAN ASAL USUL SUNAN GIRI, ULAMA PENDIRI KERAJAAN ISLAM GIRI KEDATON

Sunan Giri memiliki nama asli Raden Paku. Sewaktu masih mondok di pesantren Ampeldenta, Raden Paku bersahabat sangat akrab dengan putra Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang bernama Raden Makdum Ibrahim (kelak dikenal sebagai Sunan Bonang). Keduanya bagai saudara kandung yang saling menyayangi dan saling mengingatkan. Setelah berusia 16 tahun, kedua pemuda itu dianjurkan untuk menimba ilmu pengetahuan yang lebih tinggi di negeri seberang sambil meluaskan pengalaman.
Sunan Ampel berpesan kepada Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim untuk belajar ke negeri Pasai karena disana ditempati oleh banyak orang pandai dari berbagai negeri. Di negeri Pasai terdapat ulama besar yang bergelar Syekh Awwallul Islam. Sunan Ampel mengatakan bahwa ulama tersebut memiliki nama asli Syekh Maulana Ishak dan merupakan ayah kandung Raden Paku. Pesan itu dilaksanakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim.

RADEN PAKU BERTEMU SYEKH MAULANA ISHAK DI PASAI

Begitu sampai di negeri Pasai, Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim disambut Syekh Maulana Ishak dengan gembira, penuh haru dan bahagia karena ayah kandung Raden Paku itu tidak pernah melihat anaknya sejak bayi. Raden Paku menceritakan riwayat hidupnya sejak masih kecil ditemukan di tengah samudera oleh Nyi Ageng Pinatih. Ia kemudian diangkat sebagai anak dan berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya.
Sebaliknya, Syekh Maulana Ishak kemudian menceritakan pengalamannya saat ia berdakwah di Blambangan (saat ini dikenal sebagai daerah Banyuwangi, Jawa Timur) sehingga ia terpaksa harus meninggalkan isteri yang sangat dicintainya. Raden Paku menangis ketika mendengar cerita dari ayah kandungnya tersebut.
Raden Paku bukan menangisi kemalangan dirinya yang telah disia-siakan oleh kakeknya, yaitu Prabu Menak Sembuyu. Ia menangis karena memikirkan nasib ibunya yang tidak diketahui lagi tempatnya dimana. Apakah ibunya tersebut masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Dalam sejarah Kerajaan Blambangan, Prabu Menak Sembuyu merupakan raja beragama Hindu yang kejam. Pada saat rakyat Kerajaan Blambangan diserang wabah penyakit, Syekh Maulana Ishak tampil sebagai penyelamat. Yang diselamatkan bukan hanya rakyat Blambangan, tetapi juga putri Prabu Menak Sembuyu. Putri Blambangan tersebut akhirnya jatuh cinta dan menikah dengan Maulana Ishak, namun pernikahan tersebut tidak direstui oleh Menak Sembuyu.
Maulana Ishak diusir oleh Prabu Menak Sembuyu dan berdakwah ke Pasai. Sedangkan Raden Paku yang masih bayi dibuang oleh ibunya ke laut untuk menghindari pembunuhan oleh kakeknya sendiri. Bayi tersebut kemudian ditemukan oleh Nyai Ageng Manila, janda kaya yang merawat Raden Paku sebagai anaknya sendiri.

RADEN PAKU BELAJAR AGAMA ISLAM DI NEGERI PASAI

Di negeri Pasai banyak ulama besar dari negeri asing yang menetap dan membuka pelajaran Islam kepada penduduk setempat. Hal ini tidak disia-siakan oleh Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim. Kedua pemuda tersebut belajar agama dengan tekun, baik kepada Syekh Maulana Ishak sendiri maupun kepada guru-guru agama lainnya.
Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku dikaruniai ilmu laduni, yaitu ilmu yang datangnya langsung dari Tuhan, sehingga kecerdasan otaknya seolah tiada bandingnya. Disamping belajar ilmu Tauhid mereka juga belajar ilmu tasawuf dari ulama Iran, Bagdad, dan Gujarat yang menetap di negeri Pasai.
Ilmu yang dipelajari itu berpengaruh dan menjiwai kehidupan Raden Paku dalam perilakunya sehari-hari sehingga terlihat benar bila ia mempunyai ilmu tingkat tinggi. Ilmu tersebut sebenarnya hanya pantas dimiliki oleh ulama yang berusia lanjut dan berpengalaman. Gurunya di Pasai kemudian memberikan nama Raden Paku dengan gelar Syekh Maulana Ainul Yaqin.
Setelah tiga tahun berada di Pasai dan masa belajar itu sudah dianggap cukup oleh Syekh Maulana Ishak, maka Raden Paku dan Raden Makdum Ibrahim diperintahkan kembali ke Tanah Jawa. Oleh ayahnya, Raden Paku diberi sebuah bungkusan kain putih berisi tanah. Pesan Syekh Maulana Ishak adalah mendirikan pesantren di Gresik yang memiliki tanah sama persis dengan tanah yang ada di dalam bungkusan kain putih.
Kedua pemuda itu kemudian kembali ke Surabaya. Mereka melaporkan semua pengalamannya sewaktu di Pasai kepada Sunan Ampel. Sunan Ampel kemudian memerintahkan Raden Makdum Ibrahim untuk berdakwah di daerah Tuban. Sedangkan Raden Paku diperintahkan pulang ke Gresik menuju rumah ibu angkatnya, Nyai Ageng Pinatih.

RADEN PAKU MENDIRIKAN PESANTREN GIRI KEDATON

Dalam sejumlah sumber sejarah menyebutkan bahwa Raden Paku dijodohkan dengan Dewi Wardah putri Ki Ageng Bungkul dan Dewi Murtasiah putri Sunan Ampel. Sesudah berumah tangga, Raden Paku makin giat berlayar dan berdagang antar pulau. Sambil berlayar itu pula beliau menyiarkan agama Islam kepada penduduk setempat sehingga namanya cukup terkenal di kepulauan Nusantara.
Lama-lama kegiatan berdagang tersebut tidak memuaskan hatinya. Raden Paku ingin berkonsentrasi menyiarkan agama Islam dengan mendirikan pondok pesantren. Ia pun minta izin kepada ibunya untuk meninggalkan dunia perdagangan. Nyai Ageng Pinatih yang kaya raya itu tidak keberatan. Maka dimulailah Raden Paku bertafakur di goa yang sunyi selama 40 hari 40 malam. Ia bermunajat kepada Allah di sebuah desa yang saat ini dikenal dengan nama Kebomas, Gresik.
Usai bertafakur teringatlah Raden Paku pada pesan ayahnya sewaktu belajar di negeri Pasai. Diapun berjalan berkeliling untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan tanah yang ia bawa dari Pasai. Melalui desa Margonoto, sampailah Raden Paku di daerah perbukitan yang berhawa sejuk, hatinya terasa damai. Ia pun mencocokkan tanah yang dibawanya dengan tanah tempat ia berada saat itu. Ternyata cocok sekali.
Maka di desa Sidomukti itulah Raden Paku kemudian mendirikan pesantren. Karena tempat itu berupa dataran tinggi atau gunung maka dinamakan Pesantren Giri. Giri dalam bahasa Sanskerta artinya gunung. Atas dukungan isteri-isteri dan ibunya dan juga dukungan spiritual dari gurunya, Sunan Ampel, maka dalam waktu tiga tahun nama Pesantren Giri sudah terkenal ke seluruh Nusantara. Raden Paku pun dikenal dengan nama Sunan Giri.
gambar kaligrafi Allah Muhammad logo agama Islam

SUNAN GIRI MEMERINTAH KERAJAAN ISLAM GIRI KEDATON

Pada penjelasan di atas telah disebutkan bahwa hanya dalam waktu tiga tahun Sunan Giri telah berhasil mengelola pesantrennya hingga terkenal ke seluruh Nusantara. Menurut Dr. H.J. De Graaf, sesudah pulang dari pengembaraannya ke negeri Pasai, Raden Paku memperkenalkan diri kepada dunia dengan mendirikan pesantren di atas bukit di kota Gresik. Sunan Giri menjadi orang pertama yang paling terkenal diantara sunan-sunan lainnya yang mendirikan pesantren di daerah giri (pegunungan).
Masih menurut Dr. H.J. De Graff, di atas gunung di Gresik tersebut seharusnya saat ini terdapat sebuah istana karena sejak lama rakyat setempat membicarakan keberadaan Giri Kedaton atau Kerajaan Giri. Murid-murid Sunan Giri berdatangan dari segala penjuru Nusantara, seperti Maluku, Madura, Lombok, Makassar, Hitu dan Ternate.
Sedangkan menurut babad tanah Jawa, murid-murid Sunan Giri itu justru bertebaran hampir di seluruh penjuru benua besar, seperti Eropa (Rum), Arab, Mesir, Cina dan wilayah lain di dunia. Semua itu adalah penggambaran nama besar Sunan Giri sebagai ulama penting yang sangat dihormati orang pada jamannya. Di samping pesantrennya yang besar, Sunan Giri juga membangun masjid sebagi pusat ibadah dan pembentukan iman ummatnya. Untuk para santri yang datang dari jauh, beliau juga membangun asrama yang luas.
Jasa Sunan Giri yang terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa bahkan sampai ke Nusantara, baik dilakukan Sunan Giri sendiri saat masih muda sambil berdagang maupun melalui murid-muridnya yang ditugaskan ke luar pulau. Sunan Giri memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kerajaan-kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa. Sebagai bukti adalah adanya kebiasaan apabila seorang putra mahkota hendak dinobatkan menjadi raja haruslah mendapat pengesahan dari Sunan Giri.
Semoga artikel sejarah budaya dan sejarah Islam ini bisa menambah wawasan Anda tentang kekayaan budaya di Nusantara.


Kamis, 24 Maret 2011

بسم الله الرحمن الرحيم


Nama-nama Ulama dan Qoul dalam KItab Kuning :

1. Al-Imam (الامام) bila didapati dalam kitab fiqh Madzhab Syafi'i, maka yang dimaksud adalah Imam Haramain (Dliya’uddin Abdul Malik Ibn al-Imam Abi Muhammad Al-Juwaini, wafat tahun 478). Bila kata Al-Imam didapati dalam kitab-kitab Tajwid, maka yang dimaksud adalah Sayyidina Utsman bin Affan. Bila didapati dalam kitab-kitab kalangan Syiah, maka yang dimaksud adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w.

Bila dalam kitab-kitab fiqh terdapat kata al-A'immah al-Arba’ah (empat orang imam), maka yang dimaksud adalah Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Bila dalam kitab-kitab Tajwid terdapat kata al-A'immah as-Sab’ah, maka yang dimaksud ialah Imam Nafi’, Ibnu Katsir, Abu Amr, Ibnu Amir, al-Ashim, Hamzah, Aly Kisa'i.

Bila ditulis dalam kitab Hadits :
- al-A'immah as-Sab’ah; yang dimaksud ialah Ahmad bin Hanbal, Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah.
- al-A'immah as-Sittah; yaitu Bukhari, Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah.
- al-A'immah al-Khamsah; yaitu Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, Ibnu Majah.
- al-A'immah al-Arba’ah; yakni Abu Daud, Turmudzi, Nasa'i, dan Ibnu Majah.
- al-A'imah ats-Tsalatsah; yaitu Abu Daud, Turmudzi, dan Nasa'i.
- as-Syaikhani; (al-Muttafaq Alaih); yakni Imam Bukhari dan Muslim.
Kesimpulannya, istilah Al-Imam dapat diartikan secara luas tergantung bidang study dan bab-bab tertentu.

2. Hujjatul Islam (حجة الاسلام) bila didapati dalam kitab-kitab fiqh, maka yang dimaksud adalah Imam Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H).

3. As-Syaikhani (الشخان) bila didapati dalam kitab-kitab fiqh, maka yang dimaksud adalah Ar-Rafi’i dan an-Nawawi (Nama lengkap Ar-Rafi’i adalah Abu al-Qasim Abdul Karim al-Quzwaini, wafat tahun 623/624 H, nasabnya sampai kepada Rafi’ bin Khadij As-Shahabi r.a. Sedangkan an-Nawawi bernama lengkap Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syarf al-Hizami, wafat tahun 606 H).

4. Syaikh al-Islam (شيخ الاسلام). Bila ditemukan dalam kitab-kitab Fiqh, maka yang dimaksud adalah Abu Zakaria al-Anshari.

5. As-Syaikh (الشيخ). Bila ditemukan dalam kitab-kitab fiqh, maka yang dimaksud adalah Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf As-Syairazi, wafat tahun 472 H. di Baghdad.
(Ket : Bila kata-kata as-Syaikh ditemukan dalam kitab-kitab Balaghoh, maka yang dimaksud ialah Syaikh Yusuf As-Sakaki).

6. Syaikhuna (شيخنا). Bila ditemukan dalam kitab-kitab fiqh, terutama kitab-kitab yang mengupas hasil karya Ibnu Hajar al-Haitami, maka yang dimaksud ialah Ibnu Hajar Al-Haitami.

7. Al-Qadli (القاضي). Bila ditemui dalam kitab-kitab Ulama Mukta'akhirin Khurasan, seperti dalam kitab An-Nihayah, At-Tatimmah, At-Tahdzib, dan kitab-kitab hasil karya Imam Al-Ghazali. Maka yang dimaksud ialah Al-Qadli Husain bin Muhammad Al-Maruzi (w. 462 H). Bila ditemukan dalam kitab-kitab Ulama Mutawassith tanah Irak, maka yang dimaksud ialah Al-Qadli Abu Hamid Al-Marwazi. Bila lafadz al-Qadli didapati dalam kitab-kitab Ushul Fiqh, maka yang dimaksud ialah al-Qodli Abu Bakar Al-Baqilani. Bila didapati dalam kitab-kitab Mu’tazilah, maka yang dimaksud ialah Al-Qadli Abu Ali Al-Juba'i.
(Keterangan dari kitab Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat karya Imam Nawawi).

8. Al-Faqih (الفقيه). Bila terdapat dalam kitab-kitab fiqh Syafi'iyyah, maka yang dimaksud adalah Ibnu Rif’ah.

9. As-Syarhani (الشرحان). Bila dijumpai dalam kitab fiqh madzhab Syafi'i, maka yang dimaksud ialah Syarh al-Kabir dan Syarh as Shoghir karya Imam Ar-Rafi’i. Kedua kitab tersebut merupakan penjabaran dari kitab al-Wajiz karya al-Ghazali.
Bila dijumpai kata-kata Syarh al-Kabir atau Syarh as-Shaghir, maka yang dimaksud adalah Syarh Al-Kabir dan As-Shaghir milik Ar-Rafi’i tersebut di atas. Tapi bila yang disebut hanya kata-kata Syarh, maka yang dimaksud ialah Syarh al-Kabir saja.
10. Al-Mukhtashar (المختصر). Bila disebut dalam kitab-kitab fiqh, maka yang dimaksud adalah kitab al-Mukhtashar karya Isma’il bin Yahya bin Isma’il al-Muzani al-Mishri (w. 264 H.), salah seorang murid utama Imam Syafi'i.

11. Al-Ashah (الأصح). Bila diutarakan dalam kitab-kitab fiqh, maka yang dimaksud ialah Qaul (pendapat) yang sangat kuat. Baik dipandang dari segi dalil maupun jami’nya (perpaduan antara dalil asal dan dalil cabang) dalam satu hukum atau salah satu di antara dua hukum; baik berasal dari dua pendapat atau lebih, atau berasal dari dua sudut pandang (wajh) atau lebih.
(Ket : Imam al-Ghazali mengistilahkan al-Ashah dengan redaksi Aqyas al-Wajhain [paling memenuhi standar qiyas diantara dua pendapat], karena al-Ashah lebih sesuai dengan dalil asal madzhab).

12. As-Shahih (الصحيح). Yakni qaul atau pendapat yang shahih dalilnya maupun jami’nya, atau salah satu diantara keduanya lebih unggul daripada yang lain. Baik itu berasal dari dua pendapat atau lebih, dua sudut pandang atau lebih. Qaul Shahih merupakan bandingan atau antitesa dari Qaul Ashah).

13. Al-Fasid (الفاسد). Yakni qaul atau pendapat yang tidak dapat dijadikan pijakan hukum, karena dalilnya lemah atau jami'nya salah. Qaul Fasid merupakan bandingan atau antitesa dari Qaul Shahih.

14. Al-Adhhar (الأظهار). Yakni Qaul yang sangat jelas dalil asalnya dan argumen penopangnya, atau salah satu diantara keduanya. Baik qaul tersebut berasal dari dua pendapat atau lebih, dua sudut pandang atau lebih.
(Ket : Qaul Adhhar dan Qaul Ashah terkadang memiliki kemiripan makna dan saling mendukung satu sama lain [tadakhul], karena maknanya memang hampir sama, seperti yang biasa tertulis dalam redaksi kitab-kitab ulama klasik).

15. Ad-Dhahir (الظاهر). Yaitu qaul yang jelas dalilnya dan alasannya, atau salah satu di antara keduanya, tapi tidak sejelas Qaul Adhhar. Baik qaul tersebut berasal dari dua pendapat atau lebih, dua sudut pandang atau lebih. Qaul Dhahir merupakan antitesa dari Qaul Adhhar.
Catatan. Menempatkan Qaul Dhahir pada kedudukan Qaul Shahih atau sebaliknya, termasuk pelecehan, walaupun makna keduanya hampir sama. Sedangkan menempatkan Qaul Dhahir dan Qaul Shahih di tempat Qaul Adhhar dan Qaul Ashah termasuk kesalahan.

16. Al-Khafi (الخفي). Qaul yang samar dalilnya dan argumennya, atau salah satu diantara keduanya. Qaul Khafi merupakan bandingan dari Qaul Dhahir).

17. Al-Qaulani atau al-Aqwal (القولان او الأقوال) Bila tertera dalam kitab-kitab karya Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, maka yang dimaksud adalah dua qaul atau beberapa qaul (aqwal) Imam Syafi’i, r.a.

18. Al-Wajhani atau al-Wujuh (الوجهان او الوجوه). Bila disebutkan al-Wajhani atau al-Wujuh, maka yang dimaksud ialah qaul-qaul dari murid-murid Imam Syafi’i.

19. Al-Madzhab (المذهب). Dalam kitab-kitab fiqh biasanya tertera kata-kata al-Madzhab Kadza (المذهب كذا) atau Annahu al-Madzhab (أنه المذهب) dan yang searti. Maksudnya ialah, pendapat yang unggul diantara dua pendapat atau diantara beberapa pendapat. Kasus ini bisa terjadi karena terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama’ Syafi’iyah tentang periwayatan qaul madzhab. Misalnya ada dua pendapat (qaulani) atau dua sudut pandang (wajhani) dalam satu persoalan, dimana yang diambil oleh sebagian ulama adalah salah satunya saja. Maka salah satu qaul yang diambil itu dinamakan al-Madzhab.

20. An-Nash (النص). Bila lafadz ini disebutkan secara khusus, maka yang dimaksud ialah Nash Imam Syafi’i R.A. Lawannya ialah Wajhan Dla’ifan (وجها ضعيفا) atau Qaulan Mukharrajan (قولا مخرجا), yakni pendapat yang lemah atau qaul yang perlu penjelasan dari nash Imam Syafi’i, sebagai contoh dari masalah-masalah yang tidak bisa diamalkan (digunakan).

21. Al-Aqyas (الأقيس). Yaitu qaul yang kuat proses qiyasnya, baik dipandang dari segi dalilnya maupun jami’nya, atau salah satu diantara keduanya, baik berasal dari dua qaul atau lebih, dua sudut pandang atau lebih.
(Ket : Qaul al-Aqyas terkadang menduduki kedudukan al-Adhhar, bila dua sudut pandangnya atau dua argumennya hampir sama (mirip). Terkadang pula al-aqyas digunakan untuk aqyas bi salam as-Syafi’i R. A. atau Masail al-Bab).
22. Al-Asybah (الأشبه). Yaitu qaul yang sangat serupa dengan kalam Imam Syafi’i R.A. atau dengan kalam mayoritas murid-murid Imam Syafi’i atau murid-murid yang senior.
(Ket : Al-Asybah di sini bukan qiyas syabah atau qiyas illat. Qiyas Syabah adalah qiyas atau analogi hukum berdasarkan penyerupaan. Sedangkan qiyas illat ialah suatu qiyas yang dijelaskan dengan illat hukum).

23. Al-Arjah (الأرجح). Yaitu qaul yang unggul dibanding qaul yang lain, baik dipandang dari segi dalil maupun argumennya.
(Ket : Al arjah merupakan bandingan qaul rajih. Sedangkan jika yang unsur yang mengunggulkan (musyabahah) sangat kuat, maka boleh menempatkan qaul ashah pada posisi qaul rajih. Jika musyabahah itu belum sampai pada tingkat yang sangat kuat, maka boleh menempatkan qaul adhhar dan dhahir pada posisi qaul arjah dan rajih).

24. Al-Akhwath (الأخوط). Qaul yang memberi pengertian menuju alasan yang lebih kuat. Seperti dua qaul atau dua wajh yang sama kuatnya, baik dari segi pengertian, pandangan, illat, maupun nash syari’.
(Ket : Boleh menempatkan qaul ashah dan arjah pada posisi qaul akhwat, karena ketiganya sama-sama kuat).

25. Al-Aqrab (الأقرب). Yakni qaul yang wacananya atau gagasannya cukup kuat. Qaul ini merupakan qaul yang paling rendah kedudukannya dibandingkan dengan qaul-qaul yang telah disebutkan sebelumnya.
(Ket : Yang dimaksud dengan aqrab (lebih dekat) di sini ialah lebih dekat kepada asal madzhab atau kepada kalam mayoritas ulama. Menempatkan qaul rajih pada posisi qaul aqrab dibolehkan, dengan syarat antitesanya [qaul yang berlawanan dengan qaul aqrab] itu dianggap fasid atau cacat).

26. Al-Asyhar (الأشهر). Qaul yang kuat wacananya di kalangan madzhab dan sudah masyhur bahwa qaul itu merupakan pendapat madzhab.
(Ket : Menempatkan qaul adhhar pada posisi qaul asyhar hukumnya boleh, jika argumennya sudah sangat jelas).
27. Fi al-Madzhab (في المذهب) atau ad-Dhahir min al-Madzhab (الظاهر من المذهب) atau al-Madzhab ad-Dhahir (المذهب الظاهر). Istilah-istilah tersebut sama pengertiannya dengan an-Nash (النص) atau ad-Dhahir min an-Nash (الظاهر من النص) atau an-Nash ad-Dhahir (النص الظاهر)
(Ket : An-Nash bukan merupakan perbandingan dari sebuah qaul. Sedangkan ad-Dhahir merupakan bandingan dari Nash Khafi atau Fasid (Qawi atau Fasid). Dalam kitab al-Wajiz, Imam al-Ghazali menggunakan istilah Dhahir an-Nash sebagai pengganti an-Nash).

28. Rujjiha (رجح). Istilah ini digunakan untuk menunjuk kesamaan derajat dua qaul, baik kesamaan itu dipandang dari sisi argumen maupun proses qiyasnya, dan salah satu dari qaul tersebut diunggulkan.

29. Rajjaha al-Murajjihun (رجح المرجحون). Qaul ini digunakan untuk menunjuk lemahnya proses pengunggulan (tarjih) diantara dua pendapat.

30. Yanbaghi (ينبغي). Kata-kata ini sering digunakan dalam dalam kitab-kitab fiqh. Indikasi maknanya bisa berupa wajib (wujub), sunnah (nadb), utama (adab), atau boleh (jawaz).

31. La Yanbaghi (لاينبغي). Istilah ini meng-indikasikan makna haram (hurmah), bisa juga makruh (karahah).


32. Al-Ihtiyath (الإحتياط). Qaul ini biasa digunakan untuk menunjuk makna wajib (wujub) dan sunnah (nadb).

33. Fi al-Mas'alataini Qaulani bi an-Naql wa at-Takhrij (في المسألتين بالنقل والتخريج): Maksudnya, bila terjadi dua nash yang kontradiktif (bertentangan) dalam dua persoalan, sedangkan pendapat Shahib al-Madzhab belum jelas dan belum nampak ada solusi, maka murid-murid Imam Syafi’i melakukan pemaduan satu persoalan terhadap persoalan lain, karena dianggap ada persamaan makna diantara keduanya. Hasil dari pemaduan tersebut melahirlkan istilah Qaulani al-Manshush wa al-Mukharraj (قولان منصوص والمخرج) atau fihima Qaulani bi an-Naql wa at- Takhirij (فيهما قولان بالنقل والتخريج).

34. Al-Qaul al-Qadim (القول القديم) dan al-Qaul al-Jadid (القول الجديد). Dua jenis qaul ini merupakan qaul Imam Syafi'i. Menurut Khatib Asy-Syarbini, Qaul Jdid ialah qaul Imam Syafi’i yang difatwakan saat berada di Mesir. Para perawinya antara lain : al-Buwaiti, ar-Rubai’, al-Maradi, Harmalah, Yunus, Abdul A’la, Abdullah Ibnu Zubair, al-Humaidi, Ibnu Abdul Hakam, dll. Yang senior diantara mereka ialah al-Buwaiti, ar-Ruba'i, al-Maradi, dan Harmalah).
Qaul Qadim ialah qaul Imam Syafi’i yang disampaikan saat berada di Irak. Para perawinya banyak sekali, yang paling terkenal ialah Ahmad bin Hanbal, az-Za’farani, al-Karabisi, dan Abu Tsaur.
(Ket : Imam an-Nawawi menyatakan dalam kitab Minhaj : Kalau saya mengatakan al-Jadid, maka al-Qadim adalah antitesanya (kebalikannya). Atau saya mengatakan al-Qadim, maka al-Jadid sebagai antitesanya. Imam Haramain menyatakan : Tidak boleh menganggap Qaul Qadim sebagai pendapat madzhab. Bila dalam satu masalah terdapat dua qaul (Qadim dan Jadid), maka yang bisa diamalkan adalah Qaul Jadid, kecuali sekitar 17 masalah dimana Qaul Qadim bisa difatwakan. Dalam kitab Tuhfat al-Habib, yang bisa diamalkan sampai 22 masalah. Menurut Imam Muzani, bila dalam satu masalah terdapat dua qaul, yang keduanya Jadid, maka yang bisa diamalkan adalh qaul yang disampaikan paling akhir. Jika qaul yang akhir tidak bisa diamalkan, maka yang disa diamalkan adalah qaul yang diunggulkan oleh Imam Syafi’i. Bila Imam Syafi’i mengatakan dua qaul dalam satu waktu, yang keduanya Jadid, lalu beliau mengamalkan salah satunya, berarti beliau membatalkan yang lainnya. Menurut selain Imam Muzani (pendapat ini yang lebih utama), bukan membatalkan melainkan Imam Syafi’i mengunggulkan (tarjih) salah satunya.
Catatan. Bagi yang tidak mampu memahami persoalan ini secara mendetail, maka cukup baginya untuk mengamalkan dan berfatwa dengan Qaul Jadid saja.
35. Mujtahid Muthlaq (مجتهد مطلق). Yaitu mujtahid yang mampu mengambil (mencetuskan) hukum langsung dari dalil-dalilnya, seperti Empat Imam Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali).

36. Mujtahid Madzhab (مجتهد مذهب). Yaitu mujtahid yang mampu menganalisa dalil atau kaidah yang di pakai oleh imam madzhab, seperti Imam Muzani dan Imam Buwaiti (dalam madzhab Syafi'i).

37. Mujtahid Fatwa (مجتهد فتوى). Yaitu mujtahid yang mampu mengunggulkan qaul-qaul imam Madzhab dari qaul yang lain, seperti Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.
(Ket : Imam Ramli dan Ibn Hajar bukan Mujtahid Fatwa, tetapi hanya muqallid atau pengikut saja).
Catatan. Mujtahid Mutlaq dilarang (haram) bertaqlid (mengikuti) mujtahid yang lain. Sebagian ulama’ berpendapat, Madzhab Syafi’i lebih kuat, Madzhab Maliki lebih luas, Madzhab Abu Hanifah lebih banyak pengikutnya, Mazhab Ahmad Bin Hanbal lebih wira'i. Wallahu A’lam.